Contoh Makalah Gangguan Berbahasa Anak Usia Dini

MAKALAH
GANGGUAN BERBAHASA
ANAK USIA DINI


Oleh :
SITI MUHLISUN
NPM : 1118130203
KELAS : A16

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI RONGGOLAWE TUBAN
2016




KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr. wb.
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang memberi kami rahmat dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini  yang berjudul “Gangguan Berbahasa”.
            Gangguan berbahasa dapat dibagi menjadi dua yaitu gangguan akibat faktor medis dan faktor lingkungan. Pada pembahasan kali ini ada dua gangguan berbahasa ,yaitu gangguan berbicara dan gangguan berbahasa itu sendiri. Didalam makalah ini akan dipaparkan dari kedua ganggguan tersebut.
            Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan baik dalam penjelasan maupun penulisannya oleh karena itu saran dan kritik masih dibutuhkan. Demikianlah mudah-mudahan makalah ini dapat membantu didalam proses belajar mengajar.
Wassalamu’alaikum wr. wb. .





                                                                                                             Tuban, 21 Oktober 2016



                                                                                         Penyusun




DAFTAR ISI

Kata pengantar .......................................................................................................................... i
Daftar isi ................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............ ........................................................................................... 1
1.1 Latar belakang permasalahan ............................................................................................. 1
1.2 Identifikasi masalah ........................................................................................................... 1
1.3 Rumusan makalah .............................................................................................................. 1
1.4 Definisi operasional/ variabel ............................................................................................ 2
1.5 Tujuan penelitian ................................................................................................................ 2
1.6 Manfaat penelitian .............................................................................................................. 2
1.7 Hipotetis penelitian ............................................................................................................ 3
1.7.1 Disleksia .......................................................................................................................... 3
1.7.2 Penanganan ..................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 7
2.1 Gangguan berbicara ........................................................................................................... 7
a. Gangguan mekanisme berbicara .......................................................................................... 7
b. Gangguan akibat multifaktorial............................................................................................ 8
c. Gangguan psikogenik .......................................................................................................... 10
2.2 Gangguan berbahasa ......................................................................................................... 12
a. Afasia motorik .................................................................................................................... 14
b. Afasia sensorik ................................................................................................................... 15
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 16
a. Kesimpulan ......................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 17


  
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan
            Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Berbahasa merupakan proses mengomunikasikan bahasa tersebut. Proses berbahasa sendiri memerlukan pikiran dan perasaan yang dilakukan oleh otak manusia untuk menghasilkan kata-kata atau kalimat.
Alat bicara yang baik akan mempermudah berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Inilah yang di sebut sebagai gangguan berbahasa.
          Gangguan-gangguan berbahasa tersebut sebenarnya akan sangat mempengaruhi proses berkomunikasi dan berbahasa. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan adanya gangguan berbahasa, kemudian faktor-faktor tersebut akan menimbulkan gangguan berbahasa. Maka dari itu, dalam makalah ini akan dijabarkan macam gangguan berbahasa yang sering dialami manusia berserta faktor-faktor yang menyebakannya.
           Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat di bedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbahasa, dan (3) gangguan berpikir. Ketiga gangguan itu masih dapat di atasi kalau penderita  gangguan itu mempunyai daya dengar yang normal; jika tidak, maka akan menjadi sukar atau bahkan sangat sukar.

1.2 Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini masalah identifikasi. Adapun identifikasi masalahnya yaitu gangguan bahasa yang diderita anak autis dan berkaitannya dengan cara atau strategi anak autis tersebut menggunakan keadaan (setting) komunikasi.

1.3 Rumusan Masalah
            Berdasarkan identifikasi batasan masalah di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :
(1)   Bagaimana bentuk verbal bahasa yang dituturkan oleh anak autis ?
(2)   Apa fungsi bahasa yang dituturkan dalam setting komunikasi yang dihadapi oleh anak autis ?
(3)   Strategi bahasa apa yang digunakan anak autis ketika berkomunikasi ?


1.4 Definisi Operasional/ Variabel
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat – sifat variabel yang diamati. Definisi operasional mencakup hal – hal penting dalam penelitian yang memerlukan penjelasan. Definisi operasional bersifat spesifik, rinci, tegas dan pasti yang menggambarkan karakteristik variabel – variabel penelitian dan hal – hal yang dianggap penting. Definisi operasional tidak sama dengan tinjauan teoritis. Definisi operasional hanya berlaku pada area penelitian yang sedang dilakukan, sedangkan definisi teoritis diambil dari buku – buku literatur dan berlaku umum yang terkait.
Ada tiga pendekatan untuk menyusun definisi operasional, yaitu disebutkan menggunakan tipe A, tipe B dan tipe C dengan keterangan sebagai berikut.
(1)   Definisi Operasional Tipe A, disusun berdasarkan pada operasi yang dilakukan, sehingga menyebabkan gejala atau keadaan yang didefinisikan menjadi nyata atau dapat terjadi.
(2)   Definisi Operasional Tipe B, disusun berdasarkan perumusan dalam bentuk dekripsi tentang bagaimana suatu objek (benda tertentu) beroprasi, yakni apa yang dilakukan atau terdiri dari apa cri – ciri dinamis objek tertentu.
(3)   Definisi Operasional Tipe C, disusun berdasarkan pada penampakan seperti apa objek atau gejala yang didefinisikan tersebut, yaitu apa saja yang menyusun karakteristik – karakteristik statisnya.

1.5 Tujuan Penelitian
            Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal – hal sebagai berikut :
(1)   Deskripsi bentuk verbal yang dituturkan oleh anak penderita autis;
(2)   Mengidentifikasi fungsi bahasa yang digunakan oleh anak penderita autis;
(3)   Mendeskripsi strategi berbahasa dalam berkomunikasi dengan penderita autis;

1.6 Manfaat Penelitian
            Penelitian ini diharapkan dapat memberikan menfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis. Berikut ini adalah uraian dari manfaat teoritis dan manfaat praktis :
(1)   Secara teoris, hasil penelitian ini dapat memberi informasi di bidang keilmuan, yaitu ilmu bahasa yang di dalamnya terdapat kemampuan berbahasa untuk menganalisis penelitian ini, seperti fungsi bahasa. Selain itu, dapat memberikan informasi untuk menambahkan wawasan menyangkut adanya teori berbahasa yang dapat mengkaji tuturan penderita autis pada saat berkomunikasi.
(2)   Secara praktis, dengan mengetahui informasi dan ilmu pengetahuan, khususnya bagi guru dan orang tua. Penderita autis lebih diperhatikan oleh guru dan orang tua dalam pengembangan berbahasa pada saat berkomunikasi, terutama pada saat pelajaran cara menyampaikan tuturan yang baik. Para pembaca diharapkan lebih memperhatikan dan menghargai anak yang mengalami gangguan bahasa khususnya anak penderita autis. Selain itu dapat dijadikan salah satu bahan bacaan bagi penelitian selanjutnya.

1.7 Hipotetis Penelitian
            Gangguan bicara dan bahasa adalah terjadinya gangguan atau keterlambatan pada anak dalam berbicara atau menggunakan bahasa di dalam kehidupan sehari-harinya. Anak mengalami keterlambatan yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangan di usianya. Pada makalah ini gangguan bicara dan bahasa yang akan dibahas adalah disleksia, disgraphia dan aphasia.

1.7.1 Disleksia
            Disleksia (dyslexsia) adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis. Perkataan disleksia berasal dari bahasa yunani dys (“kesulitan untuk”) dan lexis (“huru” atau “leksikal”).
Pada umumnya keterbatasan ini haya ditunjukan pada kesulitan seseorang dalam membaca dan menulis, akan tetapi tidak terbatas dalam perkembangan kemampuan standart yang lain seperti kecerdasan, kemampuan menganalisa dan juga daya sensorik pada indera perasa.
Penderita disleksia secara fisik tidak akan terlihat sebagai penderita. Disleksia tidak hanya terbatas peda ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam urutan, termasuk dari atas ke bawah, kiri dan kanan, dan sulit menerima perintah yang seharusnya dilanjutkan ke memory pada otak. Hal ini yang sering menyebabkan penderita disleksia dianggap tidak konsentrasi dalam beberapa hal. Dalam kasus lain, ditemukan pula bahwa penderita tidak dapat menjawab pertanyaan yang seperti uraian panjang lebat.
Terminologi disleksia juga digunakan untuk merujuk kepada kehilangan kemampuan membaca pada seseorang dikarenakan akibat kerusakan pada otak. Disleksia pada tipe ini sering disebut sebagai “Alexia”. Selain mempengaruhi kemampuan membaca dan menulis, disleksia juga mempengaruhi kemampuan berbicara pada beberapa pengidapnya. Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam urutan, termasuk dari atas ke bawah. Para peneliti menemukan disfungsi ini disebabkan oleh kondisi dari biokimia otak yang tidak stabil dan juga dalam beberapa hal akibat bawaan keturunan dari orang tua. Faktor resiko seperti jenis kelamin, suku bangsa atau latar belakang sosio – ekonomi – pendidikan tampaknya tidak berkaitan dengan penderita disleksia. Peluang disleksia untuk dijumpai pada anak laki-laki dan perempuan sama besarnya. Tetapi riwayat keluarga dengan disleksia merupakan faktor resiko terpenting karena 23-65% orang tua disleksia mempunyai anak disleksia juga. Disleksia merupakan kelainan yang bisa diturunkan ke generasi berikutnya.
Ada dua tipe disleksia, yaitu develop mental dyslexsia (bawaan sejak lahir) dan aquired dyslexsia (didapat karena gangguan atau perubahan cara otak kiri membaca). Developer dyslexsia diderita sepanjang hidup pasien dan biasanya bersifat genetik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyakit ini berkaitan dengan disfungsi daerah abu-abu pada otak. Disfungsi tersebut berhubungan dengan perubahan konektivitas di area fonologis (membaca). Beberapa tanda-tanda awal disleksia bawaan adalah telat berbicara, artikulasi tidak jelas dan terbalik-balik, kesulitan mempelajari bentuk dan bunyi-bunyi huruf, bingung antara konsep ruang dan waktu, serta kesulitan mencerna instruksi verbal cepat dan berurutan. Pada usia sekolah, umumnya penderita disleksia dapat mengalami kesulitan menggabungkan huruf menjadi kata, kesulitan membaca, kesulitan memegang alat tulis dengan baik, dan kesulitan dalam menerima.
Peneliti retrospektif menunjukkan disleksia merupakan suatu keadaan yang menetap dan kongris. “ketidakmampuannya” di masa anak yang nampak seperti “menghilang” atau “berkurang” di masa dewasa bukanlah karena disleksianya telah sembuh namun karena individu tersebut berhasil menemukan solusi untukmengatasi kesulitan yang diakibatkan oleh disleksia tersebut.
Mengingat demikian kompleksinya keadaan disleksia ini, maka sangat disarankan bagi orang tua yang merasa anaknya menunjukkan tanda-tanda seperti tersebut di atas, agar segera membawa anaknya berkomunikasi kepada tenaga medis profesional yang kapabel dibidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini dienali, semakin mudah pula intervensi yang dapat dilakukan, sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah.
Diagnoso disleksia biasanya dilakukan pada usia 7-8 tahun. Namun, sebenarnya bila cermat gejala disleksia bisa dikenali sejak umur 3-4 tahun.
Tanda-tanda disleksia pada usia prasekolah :
ü  Suka mencampuradukkan kata-kata dan frasa
ü  Kesulitan mempelajari rima (pengulangan bunyi) dan ritme (irama)
ü  Sulit mengingat nama atau sebuah obyek
ü  Perkembangan kemampuan berbahasa yang terlambat
ü  Senang dibacakan buku, tapi tak tertarik pada huruf atau kata-kata
ü  Sulit untuk berpakaian
ü  Tanda-tanda disleksia pada usia sekolah dasar
ü  Sulit membaca dan mengeja
ü  Sering tertukar huruf dan angka
ü  Sulit mengingat alfabet atau mempelajari tabel
ü  Sulit mengerti tulisan yang ia baca
ü  Lambat dalam menulis
ü  Sulit konsentrasi
ü  Susah membedakan kanan dan kiri, atau urutan hari dalam sepekan
ü  Percaya diri yang rendah
ü  Masih tetap kesulitan dalam berpakaian
Bila seorang anak didiagnosis disleksia, ia harus mendapat dukungan ekstra di sekolahnya dari seorang guru yang spesialis. Biasanya ini bisa dilakukan dengan bantuan intens dalam pelajaran membaca dan menulis. Disleksia tak harus menghentikan anak-anak untuk terus belajar. Ia tak akan menimbulkan efek pada intelejemsinya, karena otak mereka bekerja dengan cara yang berbeda. Bahkan beberapa penderita disleksia memiliki kreativitas yang tinggi, kemampuan berbicara yang baik, pemikiran inivatif atau pencari solusi yang intuitif.

1.7.2 Penanganan
Usahakan agar benar-benar aktif dalam mendampinginya dari waktu ke waktu. Penderita disleksia setiap saat akan menemukan kesulitan-kesulitan. Dan bila kita biarkan mereka mencari jawabannya sendiri, maka ketika menemukan kegagalan, si penderita justru akan mmenjadi semakin bodoh. Keadaan tersebut akan memperburuk penyimpangannya.
Memberikan dorongan sedemikian rupa untuk mengembalikan kepercayaan dirinya. Penderita disleksia akan cenderung menghabiskan waktunya untuk mencari cara dalam usahanya untuk menguasai sejumlah materi pelajaran seperti membaca, menulis, dan hitung-hitungan. Perjuangan ini hanya akan tetap bertahan apabila kepercayaan dirinya terus terjaga.
Buatlah semenarik mungkin ketika mengajari membaca. Hampir semua anak penderita disleksia tidak suka pelajaran membaca, karena membaca adalah pekerjaan yang paling berat bagi dirinya. Carilah isi bacaan yang disukai oleh subyek, sehingga hal tersebut akan menjadi menarik bagi subyek untuk terus membacanya walaupun sulit.
Latihan khusus yang bisa diberikan :
ü  Ajarkan si kecil menulis
ü  Ajak si kecil bermain angka dan melatih ingatan
ü  Ajak si kecil untuk memahami orientasi


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan kedalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang yang berimplikasi pada gangguan organik. Dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.
a.        Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan peru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan meknismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringan), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).
1.        Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
2.        Gangguan Akibat Faktor Laringan
Gangguan pda pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringan ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksisnyaa. Artinya, dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.
3.        Gangguan Akibat Faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna, sehingga misalnya, kalimat “sudah barang tentu dia akan menyangkal” mungkin akan diucapkan menjadi “hu ah ba-ang ke-ku ia a-an me- angkay”. Pada orang yangterkena stroke dan badannya lumpuhsebelah, maka lidahnya pun lumpuh sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti terganggunya artikulasi).
4.        Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya. Suaranya menjadi tersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidun yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Hal ini terjadi juga pada ornag yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum). Rongga langit-langit ini tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suaranya  menjadi tersengau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kesengauan ini.
b.        Gangguan Akibat Multifaktorial
Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbagai gangguan berbicara. Antara lain adalah berikut ini :
1.        Berbicara Serampangan
Berbicara serampangan atau semberono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami. Dalam kehidupan sehari-hari kasus ini memang jarang dijumpai; tetapi didalam praktek kedokteran sering ditemui. Umpamanya kalimat “kmarin pagi saya sudah beberapa kali kesini” diucapkan dengan cepat menjadi “kemary sdada berali ksni”. Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.
2.        Berbicara Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit parkoinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah). para penderita penyakit ini biasanya  bermasalah dalam melakukan gerakan-gerakan. Mereka sukar sekali untuk memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah bergerak maka ia dapat terus menerus tanpa henti. Gerak yang laju terus itu disebut propulsi. Pada waktu berbicara ciri khas ini akan tampak pula. Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara, sebagian besar lenyap. Dalam pada itu volume suaranya kecil, iramanya datar (monoton). Suaranya mula-mula tersendat-sendat, kemudian terus menerus, dan akhirnya tersendat-semdat kembali. Oleh karena itu,  cara berbicara seperti ini disebut propulsif.
3.        Berbicara Mutis (Mutisme)
Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian besar dari mereka mungkin masih dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau bicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik, dan sebagainya.
Dunia ilmiah sebenarnya belum dapat menjelaskan dengan tepat apa ,mutisme itu. Oleh karena itu, tak heran kalau kita dapatkan berbagai teori dan anggapan dari berbagai pihak tentang mutisme itu. Oleh karena itu pula, setiap orang yang tidak dapat berkomunikasi verbal dinyatakan sebagai mutistik. Dengan begitu seseorang yang membisu sebagai tindakan protesnonverbal dapat dianggap menderita mutisme histerik, padahal sebenarnya merupakan sindrom konversi histerik. Perwujudan histeria lain adalah mutisme elektif karena membisunya itu ditujukan kepada orang-orang tertantu saja, misalnya kepada gurunya atau pacaranya. Dewasa ini apa yang dulu dikenal sebagai mutisme akinetik lebih dikenal sebagai locked-in syndrome. Dalam hal ini, si penderita masih hidup karena jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan hampir organ masih berfungsi. Hanya gerakan voluntar, pikiran, minat, keinginan dan semua fungsi luhur lainnya sudah tidak bekerja sama sekali. Mutisme lain diketahui penyebabnya. Hanya baru diperkirakan mutisme ini mungkin suatu keadaan jiwa yang terganggu sejak dilahirkan (Sidharta, 1982).
Multisme tidak bisa disamakan dengan oang bisu, apalagi denga bisu tuli. Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adanya tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi, sehingga dia tidak bisamemproduksi ujaran bahasa; tetapi alat dengarnya normal sehingga dia dapat  mendengar suara bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan kelainan alat artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran bahasa dan jugatidak mendengar ujaran bahasa orang lain. Ketiga, oramg bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak ada kelainan; tetapi alat pendengarannya rusak atau ada kelainnan. Orang golongan ketiga ini menjadi bisu karena dia tidak pernah mendengar ujaran bahasa orang lain, sehingga dia tidak bisa menirukan ujaran bahasa itu.
Pasien golangan pertama, yang alat artikulasinya rusak atau mengalami kelainnan, sedangkan alat dengarnya normal, kalu fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi. Hanya tentunya, jika diajak bertutur dia akan memjawab atau bertanyadalam bahasa isyarat, atau dalam bahasa tulis (jika dia sudah belajar menulis) Pasien golongan kedua yang bisu tulikarena alat artikulasi dan alat pendengarannya rusak, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat atau dengan bahasa “membaca bibir”. Untuk dapat berkomunikasi itu tentunya merekamemerlukan pendidikan dan pelatihan khusus yang memakan banyak waktu.
Pasien golongan ketiga yang menjadi bisu karena kerusakan atau kelainan alat dengarnya, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya  normal, masih  bisa dilatih untuk memproduksi ujaran bahasa secara tidak sempurna karena dia tidak bisa mendengar ujaran bahasa itu. Pelatihan dilakukan dengan cara dia disuruh memperhatikannya,memegang dan merasakan “gerak mulut” pelatih bicaranya. Ia pun tentu memerlukan waktu yang cukup lama.
Ketiga golongan pasien kasus kebisuan tidak berkaitan dengan fungsi otak. Hanya barang kali perkembangan fungsi otak itu yang terganggu.

c.         Gangguan Psikogenik
Selain karena karena faktor gangguan mekanisme berbicara sebagaimana dijelaskan diatas, ada juga gangguan berbicara disebabkan segi mental atau psikogenik. Gangguan ini bersifat lebih ‘ringan’ karena itu lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal sebagai ungkapan dari gangguan mental. Modalitas mental ini terungkap dari nada, intonasi, intensitas suara, lafal, dan diksi atau pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan psikogenik ini antara lain sebagai berikut:
1.        Berbicara Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan keinginan untuk dimanja sebagaimana anak kecil yang membuat perubahan pada cara bicaranya. Fonem (s) dilafalkan (c) sehingga kalimat “sakit sekali susah sembuhnya” menjadi “cakit cekali cucah cembuhnya”. Gejala seperti ini dapat diamati pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita).
2.        Berbicara Kemayu
Menurut Sidharta (dalam Chaer, 2009) istilah kemayu mengacu pada perangai kewanitaan yang berlebihan yang dalam hal ini ditunjukkan oleh seorang pria. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara menonjol atau ekstra lemah gemulai dan memanjang. Meskipun berbicara jenis ini tidak langsung termasuk gangguan berbahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin.
3.        Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang - ulang suku kata pertama, kata - kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata - kata itu kalimat dapat diselesaikan. Seperti orang yang ingin mengatakan, ”awas ada pohon tumbang”, tetapi ia mengucapkannya secara terputus dan berulang – ulang sehingga menjadi seperti berikut, ”a’…. a.. aw… awwaass….. a.. aa.. add.. a… pp… po.hhon…. ttu.. tum… mbang”.
Apa yang menyebabkan terjadinya gagap ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi hal-hal berikut dianggap mempunyai peranan penting penyebab terjadinya gagap:
·           Faktor stres dalam kehidupan berkeluarga
·           Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak; serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
·           Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan.
·           Faktor neurotik famial.
Jika hal ini terjadi pada anak-anak para orang tua sebaiknya tidak menganggap lucu atas keadaan ini karena akan membuat anak tersebut merasa malu bahkan akan memperparah gagapnya. Berikut ini beberapa hal yang harus dilakukan jika menghadapi seorang anak yang gagap:
·           Bersikap sabar dan tenang
·           Menyarankan anak untuk bicara dengan tenang dan perlahan
·           Jangan menirukannya
·           Berbicaralah dengan tenang dan perlahan-lahan dan jelas sehingga anak tersebut mempunyai banyak kesempatan untuk menirukan percakapan tersebut.
·           Berikan anak tersebut kesempatan untuk berbicara dan jangan memotong pembicaraannnya.
·           Berilah penghargaan kepadanya jika ia dapat berbicara dengan baik.
4.        Berbicara latah
Latah adalah respon reflektif berupa perkataan atau perbuatan yang tidak terkendali yang terjadi ketika seseorang merasa kaget. Latah bukanlah penyakit mental, tapi lebih merupakan kebiasaan yang tertanam di pikiran bawah sadar. Setiap orang latah punya respon yang berbeda-beda dalam bereaksi terhadap stimulus yang mengagetkan, diantarnya:
·           Mengulangi perkataan orang lain
·           Meniru gerakan orang lain
·           Mengucapkan kata-kata tertentu berulang-ulang (biasanya kata-kata jorok)
·           Melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut, misalnya; ketika penderita dikejutkan dengan seruan perintah seperti ”jongkok” atau “loncat”, dia akan melakukan perintah itu seketika.
Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo, atau menirukan apa yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Koprolalla pada latah ini berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang sering dihinggapi penyakit latah ini adalah orang perempuan berumur 40 tahun ke atas. Awal mula timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah, adalah ketika bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki yang sebesar dan sepanjang belut. Latah ini punya korelasi dengan kepribadian histeris. Kelatahan ini merupakan ”excuse” atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkahlaku porno, yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual (lihat juga W.F.Maramis, 1998: 416-418).
Latah memang bukan gangguan psikologis yang serius dan malah banyak orang menganggapnya sebagai hiburan atau sesuatu yang lucu. Namun jika seseorang ingin tampil berwibawa atau jika ia tidak ingin lagi menjadi bahan godaan / tertawaan orang lain, maka ia harus menghilangkan kebiasaan latahnya.
Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar kebiasaan latah bisa dihilangkan dengan cepat dan hasilnya permanen, yaitu:
·           harus sungguh-sungguh ingin berubah dan serius ingin menghilangkan kebiasaan latah Anda.
·           harus setuju untuk menganggap latah sebagai kebiasaan yang kurang baik dan merugikan diri sendiri.
Kebiasaan latah akan sulit dihilangkan atau bisa saja kambuh sewaktu-waktu apabila penderita menganggap menjadi latah itu lucu, menguntungkan dan menyenangkan.

2.2 Gangguan Berbahasa
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunaakan  suatu bahasa. Bagaimana kemampuan berbahasa dikuasai manusia, berkaitan erat dan sejalan dengan perkembangan manusia yang baru lahir itu. Kanak-kanak yang lahir dengan alat artikulasi dan auditori yang akan dapat mendengar kata-kata dengan baik dan juga akan dapat menirukan kata-kata itu. Pada mulanya ucapan tiruannya itu cuma mirip tetapi lambat laun akan menjadi tegas dan jelas. Proses memproduksi kata-kata itu berlangsung terus berjalan dengan proses pengembangan, pengenalan, dan pengertian (gnosis dan kognisis). Dalam perkembangan itu kata-kata akan menjadi perkataan yang merupakan abstraksi atau kata-kata yang mengandung makna. Umpamanya, kata ayam menjadi simbol dari binatang berkaki dua yang bersayap, tetapi tidak terbang seperti burung. Dia hidup dan berjalan di atas bumi seperti anjing, tetapi tidak menggonggong, melainkan berkokok. Setingkat lebih maju lagi kemudian kata ayam diasosiasikan dengan jenis, kegunaan, kualitas, dan sebagainya. Dengan demikian kemampuan untuk diferensiasi antara ayam jantan dan betina, ayam kampong dan ayam negri, daging ayam dan daging sapi, sudah diperoleh. Proses berbicara dan mengerti bahasa adalah proses serebral, yang berarti proses ekspresi  verbal dan komperhensi auditorik itu dilaksanakan oleh sel-sel saraf di otak yang disebut neuron. Proses neuron di otak ini sangat rumit sekali untuk bisa dipahami. Barangkali kalau disedehanakan bisa kita umpamakan dengan alat komputer yang dapat menyimpan (storage) semua masukan dalam bentuk sendi elektronik (coding), yang dapat diangkat kembali (recall) dari simpanan itu. Kemudian alat komputer ini mengalihkan sandi itu dalam bentuk yang dapat dipahami oleh dunia diluar komputer (decoding). Gudang tempat penyimpanan sandi ekspresi kata-kata di otak adalah didaerah broca, sedangkan gudang tempat penyimpanan sandi komperhensi kata-kata adalah didaerah Wernicke.
Berbahasa, seperti yang sudah disebutkan diatas, berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengerluarkan kata-kata. Ini berarti, daerah broca dan wernicke harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya  menyebabkan terjadinya gangguan bahsa yang disebut afasia, dalm hal ini broce sendiri menamai afemia.
Perkembangan gerak poluntar pada otak yang pada mulanya bersifat kaku dan kasar, kemudian menjadi luwes, ternyata tidak terjadi pada kedua belah otak (hemisterium) secara sama. Mekanisme neuronal yang mendasari penyempurnaan gerakan voluntar itu ternyata lebih lengkap dan lebih rumit hanya pada salah satu belah otak saja. Oleh karena itu, terdapatlah orang-orang yang lebih mampu menggunakan anggota gerak yang sebelah kiri dari padasebelah kanan, atau sebaliknya. Maka terdapatlah orang-orang kidal atau tidak kidal. Belahan otak (hemisferium) yang memiliki organisasi neuronal yang lebih sempurna itu dikenal sebagai hemisferium yang dominan. Dalam pertumbuhan dan perkembangan otak pembentukan daerah Broca dan Wernicke terjadi pada hemisferium yang dominan. Pada orang kidal hemisferium kananlah yang dominan, dan pada orang yang tidak kidal, hemisferium kirilah yang dominan. Perhatikan bagan otak tersebut (yang sudah kita bicarakan pada Bab VII).
Bagian ini menunjukan otak mempunyai setangkup daerah reseptif auditorik primer (1), setangkup daerah reseptif sekunder (4), setangkup daerah reseptif visual (5), setangkup daerah motorik suplementer (7), dan setangkup daerah motorik primer (8). Disamping itu juga memiliki setunggal daerah pengenalan kembali (kognisio) data auditorik dan visual (3), dan setunggal daerah ekspresi perkataan (6). Daerah fungsional yang setunggal berlokasi pada hemisferium yang dominan. Penyaluran impuls dari daerah fungsional di hemisferium yang tidak dominan ke hemisferium yang dominan dilakukan melalui serabut-serabut korpus kolasum, yakni serabut asosiasi (yang menghubungkan) kedua hemisferium. Data auditorik (lafal, perkataan) ditangkap di (1) kedua sisi (belahan otak kiri – kanan). Data itu disampaikan juga kepada (2) sehingga perkataan dapat diidentifikasikan sebagai simbol bahasa lisan. Pengenalan kembali (kognisio) lafal perkataan diatas oleh (3) yang juga mengurus proses kognisio lainnya, seperti kognisio visual dan taktil. Inisiasi berbicara sangat mungkin diurus oleh (3), yang mmemerintahkan (2), untuk menghubungi (6), agar mengeluarkan perintah pelaksanaan gerakan otot-otot kepada (8), sehingga menghasilkan lafal perkataan. Sekaligus dengan itu (6),memesankan kepada (7) untuk mengatur gerakan yang menghasilkan perkataan itu berjalan secara terpadu. Dalam hal ini proses berbahasa tulis diatur melalui (5) dan (4), yang dalam pembahasan bahasa lisan tidak akan disinggung.
            Kajian tentang afasia atau afasialogi dalam pengembangannya menghasilkan berbagai taksonomi yang sangat menbingungkan seperti yang dibuat oleh Benson (1975), Rapin (neurolg kanak-kanak), dan Allen (psikolinguis) (Rapin dan Allen, 1988); tetapi taksonomi yang telah disederhanakan oleh Benson, afasia ini dibedakan atas afasia ekspresi atau afasia motorik, yang dulu dikenal sebagai afasia tipe Broca, dan afasia reseptif atau afasia sensorik yang dulu dikenal sebagai afasia Wernicke. Berikut dibicarakan jenis-jenis afasia itu.
a.        Afasia Motorik
Didapati adanya tiga macam afasia motorik ini, antara lain:
1.        Afasia motorik Kortikal
          Tempat menyimpan sandi-sandi perkataan adalah korteks daerah broca. Maka apabila gudang penyimpanan itu musnah,tidak akan ada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan.jadi afasia motoric adalah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderitanya masih mengerti bahasa lisan dan tulisan, namun ekspresi verbal tidak bisa sama sekali.
2.        Afasia Motorik  Subkortikal
Sandi-sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan (korteks) daerah broca,maka apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya (subkortikal) semua perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang. Namun,perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena terputus,sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan ke gudang penyampaian perkataan itu (gudang broca) sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan pancingan jadi penderitanya tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih bisa berekspresi verbal dengan membeo.
3.        Afasia Motorik Transkortikal
           Afasia motoric transkortikal terjadi karena  terganggunya hubungan langsung antara daerah broca dan wernice. Ini berarti,hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motoric transkortikal ini merupakan lesikortikal yang merusak sebagian daerah broca. Jadi penderitanya dapat mengutarakan perkataan  subtitusinya. Misalnya ,untuk mengatakan pensil sebagai jawaban atas pertanyaan “Barang yang saya pegang ini namanya apa?”. Dia tudak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk , mengeluarkan perkataan ,”itu ,tu ,tu ,tu ,untuk menulis.” Afasia ini disebut juga afasia nominative.

b.        Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu terletak di kawasan asosiatif anatara daerah visual, daerah sensonik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar (pengertian auditorik) terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat (pengertian visual) ikut terganggu. Jadi, penderita  afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu sendiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan bahasa apapun.
Neologisme itu diucapkannya dengan irama,irama,nada,dan melodi yang sesuia dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja, seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya (bahasa verbal yang normal), keduanya sama sekali tidak dipahaminya.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan bahasanya terganggu.
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak, maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktos sosial lingkungan adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Secara medis menurut sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbahasa, (3) gangguan berpikir. Karena gangguan itu masih dapat diatasi kalau penderita itu mempunyai daya dengar yang normal; bila tidak tentu menjadi sukar atau sangat sukar.
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan kedalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik; dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.


DAFTAR PUSTAKA


Chaer, Abdul, 2009, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta; PT Rineka Cipta.

Share:

0 Comments

Terus berjuang untuk meraih kesuksesan baik itu di dunia maupun di akhirat.